Rabu, 27 Oktober 2010

Digital cinema: virtual screens

Digital cinema: virtual screens

Apa itu Digital Cinema(Sinema Digital)? Sinema digital merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mendistribusikan dan menayangkan gambar bergerak. Sebuah film dapat didistribusikan lewat perangkat keras, piringan optik atau satelit serta ditayangkan menggunakan proyektor digital alih-alih proyektor film konvensional. Sinema digital berbeda dari HDTV atau televisi high definition. Sinema digital tidak bergantung pada penggunaan televisi atau standar HDTV, aspek rasio atau peringkat bingkai. Proyektor digital yang memiliki resolusi 2K mulai disebarkan pada tahun 2005, dan sejak tahun 2006 jangkauannya telah diakselerasi.


sinema digital dapat dibuat dengan media video yang untuk penayangannya dilakukan transfer dari format 35 milimeter (mm) ke format high definition (HD). Proses transfer ke format HD melalui proses cetak yang disebut dengan proses blow up. Setelah menjadi format HD, penayangan film dilakukan dari satu tempat saja, dan dioperasikan ke bioskop lain dengan menggunakan satelit, sehingga tidak perlu dilakukan salinan film. Contohnya, dari satu bioskop di Jakarta, film dapat dioperasikan atau diputar ke bioskop-bioskop di daerah melalui satelit.

Digital Cinema berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi saat ini. Berikut adalah penuturan sutradara film George Lucas yang menyatakan bahwa film pada abad sembilanbelas menengah, dikembangkan dari fotografi baik melalui media menggunakan strip seluloid untuk menangkap dan merekam gambar mereka. Teknologi ini membentuk dasar untuk film, pembuatan film dan bioskop untuk sekitar seratus tahun, dari perkembangan pertama, disebut oleh Lucas, pada akhir abad kesembilan belas, sampai akhir abad kedua puluh. Dalam 20 tahun terakhir atau lebih, teknologi digital, teknik dan estetika visual memiliki pengaruh yang besar pada semua tahap pembuatan film dan proses distribusi. '[D] bioskop digital adalah di atas semua konsep, sebuah sistem yang lengkap, meliputi seluruh rantai produksi film dari akuisisi dengan kamera digital untuk pasca-produksi untuk distribusi ke pameran, semua dengan bit dan byte bukan 35mm gulungan '(Michel 2003).

Digital produksi dan pasca produksi

Digital film dimulai, dalam teori, pada akhir tahun 1980an, ketika Sony datang dengan pemasaran konsep 'sinematografi elektronik'. Inisiatif ini gagal lepas landas dengan profesional dan publik sama, dan itu hanya pada akhir tahun 1990-an, dengan pengenalan perekam HDCAM dan penggantian nama dari proses 'sinematografi digital' untuk, yang membuat film menggunakan kamera digital dan peralatan terkait akhirnya mulai mengambil terus.

Sampai saat ini, proses pembuatan film yang sebenarnya dari sebuah produksi film telah dilakukan menggunakan tradisional 35mm atau 70mm film kamera menggunakan tabung-tabung seluloid. Gambar kualitas yang dihasilkan oleh kamera digital dirasakan secara signifikan lebih rendah dari film, dan jadi, sementara rekaman film semakin diberi makan ke dalam komputer untuk pascaproduksi
manipulasi, proses produksi itu sendiri tetap seluloid berbasis.

George Lucas berperan penting dalam melahirkan pergeseran ini, ketika pada tahun 2001-2 dia
menembak 'Attack dari Klon' episode Star Wars saga-nya digital, menggunakan Sony
HDW-F900 HDCAM dilengkapi dengan lensa Panavision camcorder high-end (orang Prancis
fitur Vidocq (Pitof 2001) sebenarnya adalah tembakan pertama dengan kamera Sony).

Proses pasca-produksi sinema digital

Pada proses pasca produksi, negatif film pada kamera asli dipindai menjadi format digital pada pemindai resolusi tinggi. Dengan teknologi digital, data dari kamera gambar bergerak bisa diubah menjadi format berkas gambar yang enak untuk ditonton. Semua berkas gambar dapat dikoreksi agar cocok dengan daftar edit yang dibuat oleh editor film. Hasil akhir proses pasca produksi adalah penengah digital yang digunakan untuk memindahkan rekaman gambar bergerak pada film ke sinema digital. Semua suara, gambar, dan elemen data produksi yang telah dilengkapi dapat dipasang pada pusat distribusi sinema digital yang berisi semua material digital yang harus ditayangkan. Gambar dan suara kemudian dimampatkan dan dikemas dalam bentuk kemasan sinema digital (dalam bahasa inggris: Digital Cinema Package atau DCP.

Proyektor sinema digital

Untuk menayangkan sinema digital, diperlukan proyektor yang berbeda dengan proyektor untuk menayangkan sinema konvensional. Terdapat dua jenis proyektor yang dapat digunakan untuk menayangkan sinema digital, yaitu proyektor DLP dan DCI. Proyektor DLP memiliki resolusi 1280×1024 atau setara dengan 1.3 megapiksel. Sedangkan proyektor DCI memiliki dua jenis spesifikasi, yaitu 2K (2048×1080) atau setara 2.2 MP pada 24 atau 48 bingkai dan 4K (4096×2160) atau setara dengan 8.85 MP pada 24 bingkai per detik. Proyektor DLP dikembangkan oleh perusahaan Texas Instrument. Ada tiga pabrik yang telah memiliki lisensi untuk memproduksi teknologi sinema DLP yaitu Christie Digital Systems, Barco, dan NEC. Christie, yang telah lama berdiri sebagai pabrik teknologi proyektor sinema konvensional, adalah pembuat proyektor CP2000—bentuk dasar proyektor yang paling banyak tersebar secara global (total kira-kira 5,500 unit). Barco meluncurkan seri DLP dengan resolusi 2K yang masih kalah dengan proyektor sinema digital DCI. Barco juga merancang dan mengembangkan produk proyektor dengan tingkat visualisasi berbeda bagi pembuat film profesional. NEC memproduksi Starus NC2500S, NC1500C dan NC800C proyektor 2K bagi layar kecil, medium dan besar. NEC juga memproduksi sistem penyedia sinema digital Starus dan alat-alat lain untuk menghubungkan dengan computer, tape analog atau digital, penerima satelit, DVD dan lain-lain. Sementar NEC adalah pendatang baru dalam industri proyektor sinema digital, Christie adalah pemain utama dalam pasar Amerika Serikat. Sedangkan Barco memimpin pasar Eropa dan Asia. Ketika perusahaan Texas Instrument pertama kali memperkenalkan teknologi proyektor 2K, perusahaan proyeksi digital merancang dan menjual banyak unit proyektor sinema digital DLP. Ketika proyektor dengan resolusi melebihi proyektor 2K dikembangkan, pasar mulai menawarkan proyektor berbasis DLP bagi tujuan non-sinema. Pada januari 2009, lebih dari 6000 sistem sinema digital berbasis DLP dipasang di seluruh dunia, di mana sebanyak 80 persen berlokasi di Amerika utara.

Teknologi penayangan sinema digital lainnya dibuat oleh perusahaan Sony dan diberi label teknologi "SXRD" . Proyektor-proyektor SXRD seperti SRXR210 dan SRXR220, menawarkan resolusi 4096x2160 (4K) dan memiliki piksel empat kali lebih banyak dari pada proyektor 2K. Proyektor sinema digital Sony juga memiliki harga yang kompetitif dengan proyektor DLP 2 K yang memiliki resolusi lebih rendah (2048x1080 atau setara dengan 2.2 megapiksel).

Keuntungan ekonomi

Sebelum teknologi digital muncul dalam pembuatan sinema, sinema harus dibuat dengan pita seluloid yang harganya amat mahal. Pita seluloid 35 mm satu rollnya berharga empat juta dan hanya mampu merekam sepanjang empat menit. Berarti untuk membuat sinema berdurasi 100 menit dibutuhkan dana sekitar 25 juta rupiah. Itu hanya untuk merekam gambar dan belum untuk mengedit dan memperbanyak gambar. Pada sinema seluloid, sinema harus melalui proses printing dan blow up yang bisa menghabiskan dana minimal 233 juta rupiah. Sedangkan biaya untuk membuat kopi sinema adalah 10 juta rupiah. Padahal untuk diputar di bioskop di seluruh Indonesia, sebuah sinema minimal harus memiliki 25 kopi. Artinya produser harus menyediakan dana 250 juta rupiah.

Dengan menggunakan teknologi digital, biaya pembuatan sinema menjadi amat murah. Sinema digital dapat dibuat dengan menggunakan kamera Betacam SP yang kasetnya berharga 110 ribu rupiah dengan kemampuan merekam hingga 30 menit. Sinema digital juga bisa dibuat dengan Digital Video atau Digital Beta yang lebih murah lagi. Dengan biaya 400 ribu rupiah, Digital video mampu merekam gambar hingga 180 menit. Dibandingkan dengan sinema seluloid, pembuatan sinema dengan teknologi digital bisa menekan biaya hingga 500 juta rupiah. Karena sinema digital tidak perlu melalui proses printing atau blow up. Dengan menggunakan sinema digital, hanya diperlukan biaya untuk proses encoding sebesar 5 juta rupiah. Oleh karena itu, bagi para produser, sinema digital merupakan teknologi yang sangat murah. Teknologi ini dapat dijadikan alternatif untuk para pembuat film yang ingin berkarya dengan biaya seminim mungkin.

Kesimpulan

Walau sinema digital memiliki keuntungan dalam tahap produksi dan pascaproduksi namun penayangannya masih menjadi hambatan. Sebagian besar bioskop di Indonesia hanya memiliki alat untuk memutar sinema seluloid. Satunya-satunya cara agar sinema digital bisa diputar di bioskop hanyalah dengan mencetaknya kembali dalam pita seluloid. Sedangkan tidak semua sinema digital yang berformat video bisa ditransfer menjadi seluloid karena standar video adalah 625 garis atau 525 garis. Sedangkan, kualitas imaji seluloid 35 mm setara dengan 2.500 garis. Jadi kalau dari video digital ditransfer ke seluloid, hasilnya akan jauh dari memuaskan. Di Indonesia untuk saat ini hanya Blitzmegaplex yang mempunyai peralatan yang mampu menayangkan film dengan format digital.

Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_digital

DIGITAL CULTURES Understanding New Media : Glen Creeber and Royston Martin



Tidak ada komentar:

Posting Komentar